Ilustrasi (REUTERS/Stringer)
CATATANJURNALIS.COM – Pemerintah Sri Lanka menutup akses sementara berbagai platform sosial media akibat buntut dari pengeboman yang terjadi di delapan tempat berbeda pada Minggu (21/4).
Direktur Komunikasi Indonesia Indicator Rustika Herlambang menilai bahwa langkah yang diambil pemerintah Sri Lanka merupakan suatu kebijakan yang diambil guna membendung hoaks terkait pengeboman tersebut.
“Pemerintah Sri Lanka itu memiliki suatu kebijakan dan mungkin kajian yang mendalam sehingga mereka perlu untuk segera memblock isu tentang pemboman di Sri Lanka. Kenapa? Karena kalau dibiarkan itu yang namanya hoaks itu menyebar kemana-mana dan dapat menimbulkan fitnah,” ujarnya saat dihubungi CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Selasa (23/4).
Lebih lanjut kata Rustika, langkah yang diambil pemerintah Sri Lanka itu juga dapat dilihat sebagai sebuah strategi untuk mendinginkan suasana usai kejadian naas yang menimpa empat hotel, tiga gereja dan sebuah rumah.
Dahulu sosial media menurut Rustika diposisikan sebagai wadah positif guna menyebarkan informasi yang jauh lebih cepat. Namun, sisi negatif sosial media itu pasti ada salah satunya disinformasi.
“Media sosial itu kan sebagai salah satu platform penyebaran informasi jauh lebih cepat. Sebenarnya kan dulu diposisikan sangat positif karena kendala informasi itu kan bisa dengan cepat tersampaikan ke masyarakat,” tuturnya.
“Tetapi efek negatif kepada sosial media adalah disinformasi, hoaks gitu,” sambungnya.
Oleh sebab itu, masyarakat butuh literasi yang cukup karena situasi di sosial media saat ini menunjukkan bahwa sejumlah orang mudah percaya terhadap informasi yang mereka dapat.
Senada dengan Rustika, Direktur Eksekutif ICT Indonesia Institute Heru Sutadi menilai pemerintah Sri Lanka telah menunjukkan keberanian untuk menindak tegas sejumlah platform sosial media.
Selain itu Heru sempat menyinggung bahwa Indonesia belum memiliki keberanian seperti Sri Lanka untuk menutup sosial media.
“Negara berhak dan bisa menentukan penutupan atau blokir media sosial asal alasannya jelas,” kata Heru.
“Kasus Sri Lanka kita bisa melihat mereka berani mengambil putusan dan menekan platform media sosial, nah di kita keberanian dan percobaan untuk menutup media sosial belum dimiliki,” pungkasnya.
Upaya Sri Lanka dan Negara Lainnya Blokir Sosial Media Demi Ciptakan Situasi Damai
Sebelumnya, Menteri Pertahanan Sri Lanka Ruwan Wijewardene menyerukan menutup jaringan media sosial dan aplikasi pengiriman pesan instan, seperti Facebook dan WhatsApp.
Tak cuma sosial media, pemerintah Sri Lanka juga memberlakukan jam malam hingga keadaan negara yang dulu nya bernama Dominion Ceylon tahun 1948 ini aman dan terkendali.
Sejumlah pakar maupun jurnalis di berbagai negara pun merespon langkah pemerintah Sri Lanka itu. Salah satu jurnalis BuzzFeed News, Megha Rajagopalan menilai bahwa strategi Sri Lanka dalam membendung aliran informasi melalui sosial media ini juga akibat dari masyarakat Sri Lanka lebih mempercayai sosial media dibanding pemerintahnya sendiri.
“Negara ini memiliki sejarah panjang kontrol media yang cukup berat dan wartawan sering menghadapi kekerasan dan intimidasi atas pekerjaan mereka. Artinya, masyarakat Sri Lanka mengandalkan media sosial untuk mendapatkan informasi terbaru,” tulis Rajagopalan seperti dikutip BuzzFeed News.
“Tekanan pada wartawan agak mereda sejak Presiden Maithripala Sirisena mulai menjabat tahun 2015. Tetapi ketika kritis konstitusi pecah musim gugur lalu, para pendukung mantan presiden Sri Lanka Mahinda Rajapaksa merebut kendali surat kabar milik negara dan menyerbu sejumlah kantor media serta memaksa para karyawan untuk mengundurkan diri.”
Sebetulnya, Sri Lanka bukan lah satu-satu nya negara yang memberanikan diri menutup sementara akses sosial media. Ethiopia, Venezuela, India, dan Irak juga sempat menghentikan sementara aliran informasi secara daring di tengah kekacauan politik, protes dengan skala yang besar dan peristiwa lainnya.
Seorang peneliti Global Digital Policy Incubator dari Universitas Standford, Jan Rydzak telah mendokumentasikan 400 hingga 450 kasus pemblokiran internet sejak 2011 silam seperti yang dilansir NBC News.
Rydzak menilai bahwa sejumlah negara yang melakukan pemblokiran itu merupakan salah satu strategi untuk mengendalikan berbagai macam informasi yang masuk ke negaranya.
Serangan bom di Sri Lanka menyasar delapan tempat terpisah pada Minggu (21/4) yang bertepatan dengan Hari Paskah.
Empat bom pertama meledak sekitar pukul 08.45 waktu lokal di empat lokasi berbeda, yakni Hotel Shangri-La di pusat Kota Kolombo, Hotel Kingsbury, Gereja St Anthony di Kochchikade, dan Gereja Katolik St. Sebastian di Negombo.
Ledakan di Gereja St Anthony terjadi ketika misa Paskah berlangsung. Berselang lima menit, bom lainnya menerjang Hotel The Cinnamon Grand. Sekitar pukul 09.05, ledakan keenam terjadi di Gereja Katolik Zion Roman di Batticaloa.
Ledakan ketujuh terjadi di New Tropical Inn sekitar pukul 13.45 waktu lokal. Penginapan itu berdekatan dengan kebun binatang nasional Sri Lanka.
Ledakan terakhir menerjang sebuah rumah di Dematagoda, Kolombo, saat razia polisi berlangsung. Tiga aparat keamanan dilaporkan tewas dalam ledakan itu. Bom kembali meledak di dekat Gereja St. Anthony pada Senin (22/4) sore.
Setidaknya korban tewas akibat serangan bom beruntun itu mencapai 300 orang dan sedikitnya 500 orang ikut terluka.
Demikian berita ini dikutip dari CNNINDONESIA.COM untuk dapat kami sampaikan kepada pembaca sekalian.