Mengenal Aktivitas MJO, Pemicu Cuaca Ekstrem Hingga Awal MeiIlustrasi cuaca ekstrem. (Foto: ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)

CATATANJURNALIS.COM – Badan Meteorolgi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengimbau masyarakat untuk mewaspadai cuaca ekstrem yang akan terjadi hingga Kamis (2/5) mendatang. Pada periode akhir April hingga awal Mei mendatang perkirakan akan terjadi potensi hujan lebat di sejumlah kawasan di Indonesia.

BMKG mencatat pusaran angin teridentifikasi terbentuk di sekitar Laut Sulawesi, Selat Makassar, Kalimantan Barat dan Laut Cina Selatan Utara Kalimantan yang dapat menyebabkan terbentuknya daerah perlambatan dan pertemuan angin disekitar wilayah Indonesia bagian barat dan tengah.

Selain hujan lebat akibat aktivitas MJO, BMKG juga mengimbau masyarakat untuk mewaspadai potensi gelombang tinggi 2,5 hingga 4 meter di perairan barat Sabang – Banda Aceh, Perairan barat Aceh, Perairan barat P. Simeulue hingga Kep. Mentawai, Perairan Enggano, Samudra Hindia barat Sumatra, Perairan selatan Jawa hingga P. Sumba, Selat Bali – Selat Lombok – Selat Alas bagian selatan, Samudra Hindia selatan Jawa hingga Bali selatan NTT, Samudra Pasifik utara Papua.

Kondisi cuaca ekstrem kali ini dipengaruhi aktivitas Madden Julian Oscalliation (MJO) pada fase basah yang diprediksi cukup signifikan dalam periode satu pekan kedepan.

MJO sendiri merupakan gangguan awan, hujan, angin, dan tekanan udara yang melintasi kawasan tropis dan kembali ke titik awal dalam kurun waktu rata-rata 30 hingga 60 hari. MJO kerap digambarkan sebagai variabilitas iklim tropis interseasonal (bervariasi setiap minggunya).

MJO pertama kali ditemukan pada awal 1970-an oleh Dr. Roland Madden dan Dr. Paul Julian saat tengah mempelajari pola angin dan tekanan tropis. Mereka kerap melihat osilasi teratur dalam angin yang berhembus antara Singapura dan Pulau Canton di Pasifik tengah.

MJO terdiri dari fase; pertama peningkatan curah hujan (konvektif) dan kedua fase (konvektif) tertekan. Dua fase ini menghasilkan perubahan pada struktur awan dan curah hujan.

Mengutip Climate, dalam fase konvektif angin di permukaan bertemu dan udara terdorong ke atas di seluruh atmosfer. Akibatnya, angin berbalik dan memicu penignkatan gerakan udara di atmosfer hingga meningkatkan kondensasi dan curah hujan.

Sementara fase konvektif tertekan merupakan angin yang bertemu di bagian atas atmosfer hingga mendorong udara ke dalam hingga keluar dari permukaan. Ketika udara ‘menghilang’ dari ketinggian akan menghangat dan mengering yang bisa menekan curah hujan.

Demikian berita ini dikutip dari CNNINDONESIA.COM untuk dapat kami sampaikan kepada pembaca sekalian.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *