PESISIR BARAT – (CJ) – Petambak udang di Kabupaten Pesisir Barat (Pesibar), Provinsi Lampung menolak pengegelan tambak yang dilakukan Pemkab setempat, Selasa (19/10/2021) dengan alasan tambak mereka sudah berizin sebelum Perda Perubahan RTRW terbit. Bahkan puluhan karyawan tambak yang sebagian besar kaum wanita menggelar unjuk rasa menolak penutupan paksa tempat mereka bekerja.
Sebanyak 50—an anggota Satpol Pamongpraja Kabupaten Pesibar beserta instansi terkait melakukan penyegelan terhadap tambak udang PT. Sumatra Seafood Indonesia yang berada di Tanjungjati yang memiliki 14 kolam dengan 25 karyawan. Selanjutnya penyegelan kedua terhadap tambak udang PT. Andi Riza Farm di Desa Way Batang milik Andi Reza yang mempunyai 18 kolam dengan 60 karyawan. Kemudian, terhadap tambak PT. Arci Ferdian milik Hermantono yang mempunyai 9 kolam dengan 25 pekerja di Desa Margasuka, Dusun Merambai.
Dari keseluruhan terdapat tujuh tambak udang vanname yang berada di Kabupaten Pesibar yang ditutup Pemkab, karena dinilai melanggar Perda Nomor 8 Tahun 2017 tentang RTRW 2017-2037.
Dalam Perda ini, dari 6 kecamatan di kabupaten tersebut, 4 di antaranya alih fungsi menjadi zona pengembangan wisata yakni Lemong, Pesisir Utara, Ngambur dan Pesisir Selatan. Hanya tinggal 2 kecamatan yang disisakan untuk budidaya air payau yakni Bengkunat dan Ngaras.
Penyegelan tersebut ditandai dengan penyerahan surat perintah penyegelan kepada pemilik/pengelola tambak, pemasangan plank berisikan dasar penyegelan dan konsekwensi dari penyegelan dan pemasangan segel di pintu masuk tambak.
Di tambak udang PT Andi Riza Farm, rombongan Satpol PP yang dipimpin PLT Kepala Satpol PP Kab Pesibar Cahyadi Muis dihadang puluhan karyawan warga setempat yang sebagian kaum wanita sambil membentangkan poster. Di antaranya, poster tersebut bertuliskan: Jangan Tutup Periuk Nasi Kami, Sejak Ada Tambak Anak Kami Bisa Sekolah, Tambak Tutup Rakyat Lapar, Bapak Satpol PP Kasihanlah Kami, dan lain-lain.
Kepada awak media, Nenek Astina (63) tahun mengaku sudah enam tahun bekerja di tambak tersebut dengan gaji Rp1,8 juta/bulan. Pekerjaannya membersihkan klekap di permukaan tambak bersama 47 pekerja kaum wanita lainnya. “Dengan gaji dari tambak ini saya memenuhi biaya hidup dan membantu anak menyekolahkan cucu. Suami sudah tidak ada. Jika tambak ditutup apa Bupati bisa memberi makan saya,” keluh sang nenek dengan wajah bermandikan keringat di tengah terik matahari dan mata berkaca-kaca.
Ditambahkan oleh Astina (45 tahun), pekerja lainnya juga mengungkapkan keluhan serupa. Dengan bekerja di tambak, ia bisa menyekolahkan anak, karena jika hanya mengharapkan suaminya sebagai nelayan pendapatannya tidak menentu.
“Kadang-kadang dapat ikan, jika angin gelombang tinggi tidak bisa melaut,” ungkapnya lirih sambil meneriakan, “Jangan Tutup Tambak…Jangan Tutup Tambak!” Sebelumnya sebagian besar kaum wanita di daerah ini bekerja mencari rumput laut yang dihempaskan ombak ke pinggir pantai, selanjutnya dikeringkan baru dijual.
Ketiga pemilik/pengelola tambak menolak penyegelan yang dilakukan Satpol PP dengan alasan tambak mereka sudang mengantongi izin sejak tahun 2015, dua tahun sebelum Perda Perubahan Tata Ruang terbit. Andi pemilik PT Andi Riza Farm dan M Imdadarahman, pengelola tambak udang PT Sumatra Seafood Indonesia mengaku, ketika tahun 2019 mereka mengajukan perpanjangan izin tidak dikeluatkan Pemkab.
“Jadi jika tambak mau ditutup karena izin tidak diperpanjang kami tidak keberatan, tetapi tolong ganti rugi sebagaimana tertuang dalam pasal 53 Perda RTRW yang baru atas investasi yang telah kami lakukan,” Andi menawarkan.
Namun PLT Kepala Satpol PP Kab Pesibar Cahyadi Muis berkilah, ganti rugi belum bisa dilakukan karena Perpres yang mengaturnya belum ada. Oleh sebab itu, baik Andi maupun Baim—panggilan M Imdadarahman akan tetap melanjutkan budidaya, sebab tidak ada solusi kongkret yang bisa diberikan Pemkab atas kerugian yang mereka derita jika menyetop budidaya.
Demikian pula Sheni, pengelola PT Arci Ferdian Farm, menolak tambaknya disegel dengan alasan ia dan 6 petambak lainnya diadukan Pemkab ke Mabes Polri dengan tuduhan tambak ilegal. “Kita tunggu dulu keputusan pengadilan, apakah kami bersalah atau tidak,” tegasnya dengan suara keras.
Lalu ia sendiri juga mengadukan Satpol PP ke Polda Lampung yang pada penyegelan pertama Maret tahun lalu merusak pipa saluran air masuk di tambaknya. Bahkan kini kasusnya tersebut masuk P-19 guna melengkapi berkas perkara. “Lalu penyegelan ini bertentangan dengan program Bapak Presiden Jokowi yang menargetkan peningkatan produksi dan ekspor udang hingga 250% hingga tahun 2024. Berarti jika tambak ini disegel maka Bupati Pesibar tidak mendukung program pemerintah pusat,” tambahnya.
Ia juga sudah menyurati Menko Marinves Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono minta perlindungan hukum agar tetap bisa melanjutkan budidaya sebagai bentuk dukungan untuk mensukseskan program Presiden dalam sektor perikanan.
Sementara Ketua Ikatan Petambak Pesisir Barat Sumatera (IPPBS)—yang menaungi 7 petambak yang terkena dampak perubahan RTRW– Agusri Syarief yang ditemui di lokasi mengaku, petambak tidak pernah diajak berembuk oleh Pemkab terkait penutupan tambak dan ganti rugi sebagai dampak dari implementasi Perda RTRW. Bahkan ketika pihaknya menawarkan diri melakukan negosiasi ganti rugi kepada Sekda setempat, malah ditolak mentah-mentah. “Ini kan namanya arogansi kekuasaan. Sementara dana yang kawan-kawan untuk berinvestasi sini mungkin hampir satu triliun. Masak baru 2 tahun sudah mau ditutup dengan alasan RTRW-nya berubah,” jelas Agusri.
Lalu sengketa penutupan 7 tambak tersebut juga sedang dalam proses mediasi yang dilakukan pihak Ombudsman RI dan hingga kini belum ada keputusan dan titik temu. “Rekomendasi terakhir dari Ombudsman adalah tidak ada tindakan apapun dari Pemkab sebelum ada keputusan dari Ombudsman RI,” lanjutnya.
Tetapi jika rekomendasi Ombudsman tidak diindahkan Pemka, ia akan mengajak angotanya yang terkena dampak dari perubahan RTRW tersebut untuk mengajukan judicial review ke MA atas Perda RTRW Kab Pesibar tersebut. Sebab jika Pemkab-pemkab lainnya bisa seenaknya mengubah RTRW dan menutup usaha yang bertentangan dengan RTRW meski baru berjalan 2-3 tahun, tidak ada pengusaha yang mau berinvestasi di Indonesia karena tidak ada jaminan hukum dalam berinvestasi.
Ditambahkannya, sebetulnya perubahan Perda RTRW sebelumnya juga dilakukan Pemkab Lampung Selatan dan Pesawaran, Provinsi Lampung. Tetapi di kedua kabupaten tersebut tambak yang sudah mengantongi izin dan eksisting sebelum perubahan RTRW terbit tetap diberi kesempatan melanjutkan usaha tetapi tidak boleh memperluas dan Pemkab tidak menerbitkan izin baru.
Sebaliknya PLT Kepala Satpol PP Kab Pesibar Cahyadi Muis mengaku, petambak sudah diberi tenggang waktu 2 tahun untuk melakukan alih fungsi tambak sesuai RTRW yang baru, atau menutup usahanya, tetapi tidak dilakukam. “Jadi jika mereka keberatan dengan tindakan yang kami lakukan silakan ajukan gugatan ke PTUN,” katanya.
Sebab, lanjutnya, sebagai pejabat tata usaha negara, pihaknya menjalankan Perda yang sudah diuji kebenarannya di tingkat provinsi dan di Kemendagri dan tidak ada penolakan oleh instansi yang berada di atasnya. (*)